Kuil, Sesajen, dan Selfie: Kisah Nyasar di Antara Ritual Bali

Mengikuti Ritual Tradisional di Kuil

Kuil, Sesajen, dan Selfie: Kisah Nyasar di Antara Ritual Bali

Gue, si anak rantau yang cita-citanya keliling dunia modal nekat, akhirnya kesampaian juga menginjakkan kaki di Bali. Pulau Dewata ini emang udah lama masuk bucket list, bukan cuma karena pantainya yang cetar membahana, tapi juga karena budayanya yang kental dan ritualnya yang bikin penasaran. Bayangan gue tentang Bali itu, ya, kuil-kuil megah, sesajen warna-warni, dan tarian sakral yang bikin merinding. Klise abis, emang.

Tapi, realitanya? Ya, kurang lebih sama sih. Cuma ditambah bumbu-bumbu absurd yang cuma bisa lo temuin di Indonesia, dan tentu saja, pengalaman nyasar yang udah jadi ciri khas perjalanan gue.

Persiapan ala Kadarnya dan Keterkejutan Pertama


Persiapan ala Kadarnya dan Keterkejutan Pertama

Sebelum berangkat, gue sempet browsing sedikit tentang ritual di Bali. Cuma ya gitu deh, bacanya sekilas doang. Gue pikir, ah, palingan juga gitu-gitu doang. Beli kain pantai, pake kemben, terus foto-foto cantik di depan pura. Big mistake.

Begitu nyampe di salah satu pura yang lumayan terkenal (lupa namanya, maklum, ingatan gue emang sependek ikan teri), gue langsung disambut sama pemandangan yang... hmm, cukup overwhelming. Ratusan orang berpakaian adat, sesajen setinggi gunung, dan aroma dupa yang menusuk hidung. Gue yang cuma pake celana pendek dan kaos oblong langsung merasa out of place.

"Mbak, mau masuk pura?" tanya seorang bapak dengan senyum ramah.

"Iya, Pak," jawab gue agak grogi.

"Ini, pakai dulu selendang sama kainnya," kata si Bapak sambil menyodorkan selembar kain batik dan selendang berwarna kuning.

Nah, di sinilah drama dimulai. Gue, yang emang gak pernah pake kain-kainan ribet, langsung kebingungan. Udah gitu, si Bapaknya ngeliatin gue dengan tatapan penuh harap. Gue pun mencoba sekuat tenaga buat melilitkan kain itu di pinggang, sambil berdoa dalam hati semoga gak melorot di tengah jalan. Hasilnya? Ya, lumayan lah. Mirip-mirip pocong modern gitu.

Ketika Sesajen Bukan Sekadar Hiasan


Ketika Sesajen Bukan Sekadar Hiasan

Setelah berhasil melewati sesi fashion show dadakan, gue memberanikan diri masuk ke area pura. Suasana di dalam jauh lebih ramai dan sakral. Para pemangku adat tampak khusyuk memimpin ritual, sementara para umat dengan khidmat berdoa. Gue, yang gak ngerti apa-apa, cuma bisa bengong sambil mencoba mencerna apa yang sedang terjadi.

Yang paling bikin gue takjub adalah sesajennya. Gak cuma buah-buahan dan bunga, tapi juga ada kue-kue tradisional, ayam panggang utuh, bahkan uang kertas! Gue yang notabene anak kos langsung mikir, "Ya ampun, mending duitnya buat beli mie instan!"

Tapi, tentu saja gue gak berani ngomong gitu keras-keras. Gue sadar, sesajen itu bukan sekadar hiasan atau pajangan. Itu adalah wujud syukur dan persembahan kepada para dewa. Sebuah simbol yang punya makna mendalam.

Gue pun mencoba menghormati tradisi tersebut dengan tidak menyentuh atau mengganggu sesajen yang ada. Walaupun jujur aja, godaan buat nyomot sepotong kue tradisional itu gede banget. Apalagi perut udah mulai keroncongan.

Antara Doa, Mantra, dan Bisikan Setan


Antara Doa, Mantra, dan Bisikan Setan

Ritual di pura itu berlangsung cukup lama. Ada doa-doa yang dilantunkan dalam bahasa Sansekerta, mantra-mantra yang diucapkan dengan khidmat, dan sesekali diselingi dengan suara gamelan yang merdu. Gue yang gak ngerti artinya apa-apa, cuma bisa ikut mengangguk-angguk sok paham.

Di tengah-tengah ritual, tiba-tiba gue merasa ada yang aneh. Seperti ada bisikan-bisikan halus yang masuk ke telinga gue. Bisikan itu gak jelas, tapi cukup mengganggu konsentrasi gue. Gue pun mencoba mengabaikannya, tapi bisikan itu semakin lama semakin kuat.

"Psst... Mbak, foto-foto aja di situ. Bagus view-nya," bisik suara itu.

Gue menoleh ke belakang dan melihat seorang turis asing sedang tersenyum ke arah gue. Ternyata, bisikan itu bukan suara setan, tapi ajakan untuk berfoto! Sialan.

Gue pun menolak ajakan itu dengan halus. Gue merasa, berfoto-foto di tengah ritual sakral itu kurang pantas. Apalagi gue gak tau aturan dan etika yang berlaku. Gue gak mau dibilang gak menghargai budaya orang lain.

Ketika Selfie Jadi Dosa Besar (Mungkin)


Ketika Selfie Jadi Dosa Besar (Mungkin)

Tapi, godaan untuk berselfie di depan pura itu emang gede banget. Apalagi background-nya emang cakep abis. Kuil megah dengan ukiran-ukiran yang indah, langit biru yang cerah, dan sesajen warna-warni yang bikin mata seger. Kurang apa coba?

Gue pun mulai berpikir keras. Gimana caranya gue bisa foto-foto tanpa mengganggu jalannya ritual? Akhirnya, gue menemukan ide brilian. Gue akan menunggu sampai ritual selesai, baru deh gue foto-foto sepuasnya.

Setelah ritual selesai, gue langsung mencari spot foto yang paling strategis. Gue mengeluarkan handphone gue dan mulai berpose. Senyum manis, gaya candid, sampai pose alay ala-ala selebgram. Semua gue coba.

Tapi, baru beberapa kali jepret, tiba-tiba ada seorang Bapak menghampiri gue dengan wajah serius.

"Mbak, maaf, di sini tidak boleh foto-foto," kata si Bapak dengan nada tegas.

"Lho, kenapa, Pak?" tanya gue bingung.

"Ini tempat suci. Tidak boleh sembarangan foto-foto," jawab si Bapak.

Gue pun langsung merasa bersalah. Ternyata, walaupun ritual sudah selesai, bukan berarti gue bebas foto-foto di area pura. Gue harus tetap menghormati kesucian tempat tersebut.

Dengan berat hati, gue pun menyimpan handphone gue dan meminta maaf kepada si Bapak. Gue berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

Pelajaran Berharga dari Bali (Selain Harga Kopi Luwak yang Bikin Kantong Jebol)


Pelajaran Berharga dari Bali (Selain Harga Kopi Luwak yang Bikin Kantong Jebol)

Dari pengalaman nyasar di antara ritual Bali ini, gue mendapatkan banyak pelajaran berharga. Bahwa traveling itu bukan cuma soal mengunjungi tempat-tempat indah dan berfoto-foto. Tapi juga soal belajar menghargai budaya dan tradisi orang lain.

Gue jadi sadar, setiap tempat suci punya aturan dan etika yang harus dihormati. Gak semua hal bisa diukur dengan logika atau kepentingan pribadi. Ada nilai-nilai yang lebih tinggi yang harus dijunjung.

Selain itu, gue juga belajar bahwa sesajen itu bukan cuma soal materi. Tapi juga soal ketulusan dan keyakinan. Sebuah simbol yang mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas segala berkat yang telah diberikan.

Dan yang terakhir, gue belajar bahwa selfie itu gak selalu dosa. Tapi, ada waktu dan tempat yang tepat untuk melakukannya. Jangan sampai demi sebuah foto yang sempurna, kita mengabaikan etika dan norma yang berlaku.

Jadi, buat lo yang mau traveling ke Bali, jangan cuma siapin kamera dan outfit yang kece. Tapi juga siapkan hati dan pikiran yang terbuka. Belajar tentang budaya dan tradisi Bali sebelum berangkat, biar gak kaget pas nyampe di sana.

Dan yang paling penting, jangan lupa bawa sunscreen yang banyak. Soalnya matahari di Bali itu ganas banget, bro! Bisa bikin kulit lo gosong kayak ayam panggang. Tapi, ya, nikmatin aja. Soalnya pengalaman traveling di Bali itu emang gak ada duanya. Dijamin bikin lo ketagihan dan pengen balik lagi.

Oh iya, satu lagi. Jangan lupa nawar harga kopi luwak. Soalnya harganya bisa bikin kantong lo jebol! Pengalaman gue sih gitu. Bye!

Posting Komentar untuk "Kuil, Sesajen, dan Selfie: Kisah Nyasar di Antara Ritual Bali"