Belajar Masak Kimchi: Ketika Lidah Kebakaran Jenggot Jadi Cinta

Belajar Masak Kimchi: Ketika Lidah Kebakaran Jenggot Jadi Cinta

Oke gaes, jadi gini ceritanya. Gue, si anak kos yang makan mie instan udah kayak bernapas, tiba-tiba kepikiran buat ikut kursus masak makanan Korea tradisional. Kenapa? Jangan tanya. Mungkin karena kebanyakan nonton drakor, atau mungkin juga karena gue udah bosen makan nasi goreng telor melulu. Yang jelas, gue memutuskan untuk terjun bebas ke dunia gochujang dan kimchi!
Awalnya sih, gue mikir, "Ah, masak Korea mah gampang. Tinggal cemplung-cemplung bahan, jadi deh." Tapi ternyata, dunia kuliner Korea tuh lebih kompleks dari drama percintaan segitiga Lee Min Ho. Gue nggak cuma belajar resep, tapi juga diajak menyelami sejarah dan filosofi di balik setiap hidangan. Goks abis!
Mendaftar Kursus: Antara Semangat dan Kebingungan

Pencarian kursus masak ini pun dimulai. Google jadi sahabat setia gue. Ketik "kursus masak makanan Korea Jakarta" langsung muncul seabrek pilihan. Ada yang harga merakyat, ada yang harganya bikin dompet menjerit. Ada yang fokusnya ke makanan modern, ada yang ngajarin makanan tradisional kayak masakan nenek moyang kerajaan Joseon.
Akhirnya, gue milih sebuah kelas yang kayaknya oke. Lokasinya nggak terlalu jauh dari kosan, harganya masih masuk akal, dan yang paling penting, menunya bikin ngiler. Ada kimchi, bibimbap, bulgogi, sama japchae. Komplit plit!
Pas hari pertama, gue dateng dengan semangat membara ala-ala Chef Ramsey. Udah ngebayangin bakal masak ala masterchef dan dipuji-puji sama chefnya. Tapi ternyata, gue salah besar. Yang ada, gue malah keliatan kayak anak ilang di tengah kerumunan ibu-ibu PKK yang jago masak.
Bertemu Chef yang Bikin Jiwa Kosong Melompong

Chefnya, sebut saja namanya Chef Han, ternyata orang Korea asli. Orangnya ramah banget, tapi juga perfeksionis abis. Dia jelasin tentang sejarah makanan Korea, bahan-bahan yang dipake, sampe teknik masaknya yang ribetnya minta ampun. Gue cuma bisa manggut-manggut sambil berusaha mencerna semua informasi yang masuk ke otak gue yang udah penuh sama rumus fisika dan sinetron azab.
"Kimchi itu bukan cuma makanan, tapi juga budaya," kata Chef Han dengan nada serius. "Setiap keluarga di Korea punya resep kimchi sendiri yang diwariskan turun temurun. Jadi, masak kimchi itu sama kayak merawat warisan leluhur."
Gue langsung mikir, "Anjir, gue selama ini cuma beli kimchi instan di supermarket. Dosa banget kayaknya gue."
Petualangan Gochujang: Pedasnya Bikin Istighfar

Sesi pertama dimulai dengan pembuatan kimchi. Ini nih yang paling bikin penasaran. Gue kira bikin kimchi tuh gampang, tinggal campur sawi putih sama bumbu-bumbu. Ternyata, prosesnya panjang dan ribet banget. Sawi putihnya harus direndam air garam semalaman, bumbunya harus difermentasi, terus semuanya diaduk-aduk dengan penuh cinta.
Yang paling bikin gue nangis bombay adalah pas nyampur gochugaru. Itu lho, bubuk cabe Korea yang pedesnya minta ampun. Chef Han nyuruh gue pake sarung tangan, tapi gue sok jagoan nggak mau. Alhasil, tangan gue langsung merah membara kayak abis diceburin ke lava.
"Aduh, panas banget Chef!" keluh gue sambil kipas-kipas tangan kayak orang kebakaran jenggot.
"Itu baru gochugaru sedikit. Nanti kalau kamu masak tteokbokki, pedesnya lebih gila lagi," kata Chef Han sambil ketawa ngakak.
Gue langsung istighfar dalam hati. Kayaknya dunia perkulineran Korea ini nggak sesimple yang gue bayangin.
Bibimbap: Simfoni Warna dan Rasa di Atas Mangkuk

Hari kedua, giliran belajar bikin bibimbap. Ini nih makanan favorit gue. Nasi campur sayuran, daging, telur, sama gochujang. Keliatannya sederhana, tapi rasanya bikin nagih.
Chef Han ngajarin gue cara motong sayuran yang bener, cara masak daging yang empuk, dan cara bikin saus gochujang yang pas. Ternyata, setiap bahan punya teknik masaknya sendiri-sendiri. Nggak bisa asal cemplung kayak masak mie instan.
Pas nyusun bibimbap di mangkuk, Chef Han ngajarin gue tentang estetika makanan. Warna sayuran harus disusun secara harmonis, dagingnya harus ditaruh di tengah, telurnya harus kuningnya harus menggoda. Intinya, bibimbap itu bukan cuma makanan, tapi juga karya seni.
Gue berusaha keras mengikuti instruksi Chef Han. Tapi hasilnya tetep aja nggak secantik bibimbap yang ada di restoran. Bibimbap buatan gue lebih mirip nasi campur ala warteg. Tapi rasanya, lumayanlah buat ukuran anak kos yang baru belajar masak.
Bulgogi: Daging Sapi yang Bikin Lidah Bergoyang

Hari ketiga, gue belajar masak bulgogi. Daging sapi yang diiris tipis-tipis, dimarinasi dengan bumbu, terus dipanggang di atas teflon. Aromanya aja udah bikin perut keroncongan.
Chef Han ngajarin gue cara marinasi daging yang bener. Bumbunya terdiri dari kecap asin, bawang putih, jahe, gula, sama minyak wijen. Semua bahan diaduk-aduk, terus dimasukin ke kulkas semalaman biar meresap.
Pas manggang bulgogi, gue harus hati-hati biar nggak gosong. Dagingnya harus dibolak-balik terus biar matengnya merata. Aromanya yang harum semerbak bikin gue pengen langsung nyomot dagingnya. Tapi Chef Han ngelarang. Katanya, bulgogi yang enak itu harus dinikmati dengan nasi putih hangat dan kimchi.
Pas gue nyobain bulgogi buatan sendiri, rasanya bener-bener bikin lidah bergoyang. Dagingnya empuk, bumbunya meresap, dan aromanya bikin nagih. Gue langsung ngerasa kayak chef profesional.
Japchae: Mie Korea yang Bikin Ketagihan

Hari terakhir, gue belajar bikin japchae. Mie sohun Korea yang ditumis dengan sayuran dan daging. Keliatannya gampang, tapi ternyata tricky abis. Mienya harus direbus dengan pas, sayurannya harus ditumis dengan cepat, dan bumbunya harus seimbang.
Chef Han ngajarin gue cara masak japchae yang bener. Mienya direbus sampe kenyal, sayurannya ditumis dengan sedikit minyak wijen, dan dagingnya dimarinasi dengan bumbu yang sama kayak bulgogi. Semua bahan dicampur jadi satu, terus diaduk-aduk sampe rata.
Pas gue nyobain japchae buatan sendiri, rasanya bener-bener bikin ketagihan. Mienya kenyal, sayurannya renyah, dan dagingnya gurih. Gue langsung nambah lagi dan lagi sampe perut gue buncit kayak balon.
Lebih dari Sekadar Memasak: Belajar Tentang Budaya dan Ketekunan

Setelah empat hari ikut kursus masak makanan Korea tradisional, gue nggak cuma belajar resep. Gue juga belajar tentang budaya, sejarah, dan filosofi di balik setiap hidangan. Gue belajar bahwa masak itu bukan cuma tentang mencampur bahan, tapi juga tentang mencintai makanan, menghargai tradisi, dan berbagi kebahagiaan.
Selain itu, gue juga belajar tentang ketekunan. Masak makanan Korea itu butuh kesabaran, ketelitian, dan kerja keras. Nggak bisa instan kayak masak mie instan. Tapi hasilnya, sepadan dengan usaha yang kita keluarkan.
Sekarang, gue udah nggak cuma makan mie instan melulu. Gue udah bisa masak kimchi, bibimbap, bulgogi, dan japchae. Walaupun rasanya belum seenak masakan Chef Han, tapi gue bangga sama diri gue sendiri. Gue udah berani keluar dari zona nyaman dan mencoba hal baru.
Kesimpulan: Jangan Takut Mencoba Hal Baru!

Buat kalian yang pengen belajar masak makanan Korea, gue saranin jangan ragu buat ikut kursus. Nggak cuma dapet ilmu masak, tapi juga dapet pengalaman seru dan teman baru. Siapa tahu, kalian bisa jadi chef terkenal kayak Chef Han!
Dan buat kalian yang masih setia sama mie instan, gue saranin coba deh sekali-sekali masak makanan Korea. Siapa tahu, lidah kalian langsung jatuh cinta sama gochujang dan kimchi!
Intinya, jangan takut mencoba hal baru. Siapa tahu, kalian menemukan passion baru yang selama ini tersembunyi. Kayak gue yang tadinya cuma anak kos doyan mie instan, sekarang jadi calon chef Korea! Semangat!
Posting Komentar untuk "Belajar Masak Kimchi: Ketika Lidah Kebakaran Jenggot Jadi Cinta"
Posting Komentar